15 September 2009

Senam Pagi Bersama di Gereja

Sejak tgl. 29 Agustus 2009 dilaksanakan senam pagi bersama bagi Jemaat GKPI Citeureup, senam ini rutin diadakan setiap hari Sabtu mulai pk. 06.45 WIB setelah ibadah Persekutuan Doa Pagi bertempat di halaman belakang Gereja GKPI Citeureup .

Kami mengajak seluruh Jemaat GKPI Citeureup untuk ikut serta senam pagi dengan instruktur Ibu Selvi Imelda. Tubuh jasmani kita juga harus sehat lho.


Foto peserta sedang beristirahat di bawah pohon mangga setelah selesai senam tgl. 5 September 09.



























Baca_selengkapnya......

14 September 2009

Kesaksian - Bantal yang Berisi Buku (Myanmar, 1819 - 1840)

Selama enam tahun, Adoniram Judson mencoba mengabarkan Injil di Birma. Utusan Injil muda dari Amerika Serikat ini berusaha memberi tahu orang-orang Birma tentang Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi, dan tentang Yesus Kristus, satu-satunya Juru Selamat manusia yang berdosa. Dia juga mencoba berbagai macam cara penginjilan. Dengan susah payah, ia telah menerjemahkan kitab Injil Matius ke dalam bahasa Birma; lalu ia menyuruh agar terjemahannya itu dicetak. Tetapi banyak orang Birma yang masih buta huruf. Dan mereka yang dapat membaca, sering mengejek hasil karya Adoniram Judson itu.

Pdt. Judson juga sudah berusaha meniru metode mengajar yang lazim dipakai oleh guru-guru bangsa Birma sendiri. Ia membangun sebuah pendopo di pinggir jalan untuk dia mengajar, yang dikapur putih bersih agar kelihatan lebih mencolok mata daripada pendopo-pendopo lainnya. Sepanjang hari, Adoniram Judson dengan sabar duduk di depan pendoponya itu dan menyerukan kata-kata ajakan dari kitab Yesaya pasal 55. Namun, kebanyakan orang Birma yang melewati depan pendopo Kristen itu terus saja berjalan. Hanya beberapa orang saja yang cukup berminat sehingga mereka mampir untuk mendengarkan ajaran guru asing itu. Dan kebanyakan pengunjung pendopo itu pun tidak mau kembali lagi untuk yang kedua kalinya.

Pada waktu itu, ada raja baru yang memerintah di Ava, ibu kota Birma; rupanya beliau lebih keras lagi melawan ajaran asing daripada raja yang memerintah sebelumnya. Dengan sedih, Pdt. Judson menutup pendoponya. Ia khawatir kalau-kalau penginjilan secara terbuka akan dibalas dengan tindakan kekerasan terhadap ketiga petobat baru, hasil penginjilannnya selama enam tahun. Pelanggar hukum di Kerajaan Birma pada masa itu bukan hanya dihukum mati saja: boleh jadi ia dihukum mati dengan siksaan yang paling kejam.

Seorang pendeta pengantar Injil muda bernama James Colman datang dari Amerika untuk membantu keluarga Judson. Pada suatu hari tahun 1819, Pdt. Colman mengusulkan agar mereka pergi ke ibu kota untuk menghadap raja baru itu dan meminta izin secara terang-terangan untuk menyebarkan ajaran Kristen di Kerajaan Birma. Kalau akhirnya ditolak, mungkin lebih baik mereka meninggalkan negeri Birma dan pergi ke tempat lain. Meski Adoniram Judson tidak sampai hati memikirkan kemungkinan untuk meninggalkan Birma, namun akhirnya Pdt. Judson setuju dengan usul Pdt. Colman. Mereka menghabiskan waktu 35 hari untuk sampai ke ibu kota Ava.

Setiba di ibu kota Ava, mereka menuju ke istana. Sementara menunggu kedatangan sang raja, Pdt. Judson berunding dengan salah seorang menteri kerajaan. Ia menyodorkan hadiah yang hendak dipersembahkan: sebuah Alkitab bahasa Inggris berukuran besar, dengan sampul keemasan. Ia juga memperlihatkan salah satu surat selebaran berbahasa Birma yang telah dikarangnya, serta sepucuk surat permohonan agar ia diperbolehkan mengajar orang-orang Birma tentang Tuhan Yesus.

Sang raja masuk dengan segala kebesarannya. Ketika sang raja bertanya tentang maksud kedatangan kedua orang asing itu, sang menteri maju dengan bertiarap sampai ia dapat meletakkan persembahan dan permohonan mereka di depan tahta. Sang raja mulai membaca surat selebaran itu: "Tuhan Yang Maha Esa hidup selama-lamanya, dan di samping Dia tidak ada allah lain." Dengan muka yang menunjukkan murka, sang raja membiarkan surat selebaran itu jatuh ke lantai. Sang menteri segera mengantarkan kedua orang asing itu keluar. Kemudian ia pun menjelaskan keputusan sang raja: "Tidak ada jawaban atas permohonanmu itu. Dan mengenai tulisan sucimu, sang raja tidak memerlukannya; bawalah pulang saja."

Dari ibu kota Ava, Adoniram Judson dan James Colman pulang ke kota pelabuhan Yangoon. Mereka telah gagal. Mereka sekeluarga pun berencana bersiap-siap pindah ke tempat lain. Namun yang mengherankan, ketiga orang Kristen Birma itu, yang pada mulanya takut karena menjadi orang Kristen, justru menantang Pdt. Judson agar bersikap lebih berani. Mereka meminta Pdt. Judson tetap tinggal sampai ada sepuluh orang yang percaya. Dalam jangka waktu satu bulan saja, ada sembilan orang Birma lagi yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus!

Maka Judson pun memberanikan diri untuk berjuang terus, sambil menerjemahkan firman Allah ke dalam bahasa Birma. Tugas terjemahan itu sulit sekali! Huruf-huruf bahasa Birma berbeda sama sekali dengan huruf-huruf yang dipakai dalam semua bahasa lainnya. Apalagi tidak ada tanda pemisah antara kata atau kalimat, misalnya huruf besar atau tanda baca. Tidak ada kamus; tidak ada buku pedoman tata bahasa. Di samping semua halangan ini, pada zaman itu tulisan bahasa Birma biasa digores pada daun lontar kering sehingga amat sukar untuk dilihat, apalagi untuk dibaca.

Berita mengenai keberhasilan Adoniram Judson dalam menguasai bahasa Birma itu sampai ke ibu kota. Sang raja pun berminat karena untuk hubungan luar negeri ia sering memerlukan seorang pengalih bahasa. Maka keluarga Judson dipanggil untuk pindah ke Ava. Tetapi Pdt. Judson harus menunggu istrinya kembali dari Amerika; Ibu Judson terpaksa pulang untuk berobat. Sambil menunggu istrinya selama sepuluh bulan di Yangoon itu, Adoniram Judson berhasil menyelesaikan terjemahan seluruh kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Birma.

Sesudah sembuh, Ibu Judson kembali, dan mereka segera pindah ke Ava. Salah seorang anggota jemaat di Yangoon itu ikut serta sebagai pembantu mereka. Ternyata cuaca di ibu kota itu panas dan lembab; ini yang menyebabkan baik Pdt. Judson maupun istrinya sering sakit. Dan yang payah lagi, berkobarlah perang antara Kerajaan Inggris dengan Kerajaan Birma. Adoniram Judson seorang Amerika; ia bukan orang Inggris. Namun, semua orang asing yang berkulit putih itu digiring bersama-sama ke dalam sebuah penjara yang dikhususkan untuk menjalani siksaan dan hukuman mati.

Seandainya Ibu Judson tidak setia menolong suaminya, pasti ia meninggalkannya pada waktu sengsara itu. Tiap hari Ibu Judson datang dengan membawa makanan segar serta air minum yang bersih. Selama beberapa minggu, Ibu Judson tidak sanggup datang sendiri; seorang pembantu menggantikan dia. Lalu ia muncul lagi, dengan membawa serta bayinya yang baru lahir. Tentu Pdt. Judson senang melihat bayinya yang mungil itu serta istrinya yang sudah sehat kembali. Namun, ada hal lain yang sering menyusahkan pikirannya: bagaimana dengan naskah tulisan tangannya itu? Bagaimana dengan satu-satunya salinan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Birma?

Di rumah, naskah itu kurang aman karena rumah keluarga Judson sudah dua kali digeledah tentara kerajaan. Maka Ibu Judson menjahit sebuah bantal yang sengaja dibuat keras dan kumal, agar penjaga penjara tidak mengiranya. Di dalam bantal itulah ia memasukkan naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Birma. Dan selama sebelas bulan, Adoniram Judson tidur dengan kepala bersandarkan bantal yang berisi buku itu. Siang malam ia menderita; namun ia mengucap syukur kepada Tuhan karena naskahnya yang berharga itu masih aman.

Tiba-tiba pada suatu hari semua tahanan disuruh berderet di halaman penjara. Rantai yang berat itu dilepaskan, lalu mereka diikat berdua-dua. Judson mohon dengan sangat agar ia boleh membawa serta bantalnya, sampai-sampai ia menangis dan orang-orang tahanan lainnya mengejek dia. Namun penjaga yang bengis menyobek bantal itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Judson dan para tahanan lainnya dipaksa berbaris sejauh enam belas kilometer di luar kota, di bawah terik matahari. Kaki mereka berdarah; mulut mereka kekeringan. Ada yang tidak tahan dalam perjalanan maut itu; ada yang meninggal sebelum tiba di tempat tujuan; ada juga yang jatuh pingsan di ujung jalan. Namun, Pdt. Judson masih hidup. Ia masih tetap terkurung di dalam penjara di luar kota itu selama tujuh bulan lagi.

Pada suatu hari, ada berita dari sang raja; Ia memerlukan seorang pengalih bahasa yang pandai berbahasa Inggris dan bahasa Birma. Maka Adoniram Judson dibebaskan dari penjara walau masih tetap dijaga dengan ketat. Setibanya di ibu kota, yang pertama-tama ditanyakan Judson ialah mengenai istri dan anaknya. Para penjaga memberitahu bahwa kedua orang itu masih selamat. Pertanyaan Judson yang kedua adalah mengenai bantalnya. Para penjaga tidak tahu dan tidak ambil pusing tentang benda yang mereka anggap kurang berharga itu.

Ternyata Kerajaan Birma tidak kuat menghadapi pasukan perang Kerajaan Inggris. Tentara Birma dipukul kalah. Dalam perundingan perdamaian, jasa Adoniram Judson sebagai pengalih bahasa itu sangat diperlukan. Akhirnya, semua tugas yang dituntut sang raja itu selesai. Pdt. Judson dengan keluarganya boleh kembali ke Yangoon, kota pelabuhan dan tempat tinggal mereka semula. Di sana, mereka kembali menjumpai orang-orang Kristen Birma, yang selama masa perang itu masih setia mengikut Tuhan Yesus.

Salah seorang di antara ketiga petobat yang pertama-tama itu rupanya sangat senang bertemu kembali dengan gurunya. "Wah, kami kira Pendeta sudah meninggal! Lagipula tiada kubur tempat tinggal kami dapat pergi berkabung. Namun, aku masih tetap memelihara bantal itu, tempat kepala Pendeta pernah bersandar."

"Bantal?" tanya Adoniram Judson hampir tidak percaya. "Bantal apa itu?"

"Ya, bantal kecil itu yang dipakai Pendeta waktu di penjara. Untung aku sempat menyelamatkannya dari tempat sampah sebagai kenang-kenangan, pada hari itu ketika Pendeta digiring keluar halaman penjara dalam perjalanan maut."

Dengan tangan gemetar Pdt. Judson menerima kembali bantal yang kotor dan sobek itu. Ia sengaja menyobek tutupnya lagi sehingga rusak sama sekali, dan ... ternyata naskahnya masih utuh! Maka dengan semangat baru, Adoniram Judson mulai mengabarkan "isi bantal" itu kepada orang-orang Birma.

Tidak lama kemudian, istri dan anaknya yang tercinta itu meninggal; namun ia terus berjuang. Ia meneruskan tugas terjemahan firman Tuhan itu. Perkataan Raja Daud dalam Kitab Mazmur yang tengah dialihkannya itu sering menghibur hatinya yang sedang sedih. Bertahun-tahun kemudian, pengabar Injil yang setia itu dikaruniai sebuah keluarga baru. Istri keduanya itu melahirkan beberapa anak; di antara mereka, di kemudian hari ada yang menjadi hamba Tuhan sama seperti ayahnya.

Baru pada tahun 1835, seluruh Alkitab itu selesai diterjemahkannya ke dalam bahasa Birma. Namun, Judson masih belum puas. Selama lima tahun ia mendalami lagi tulisan sastra bahasa Birma, baik prosa maupun puisi. Sering ia meminta pendapat para rekannya, baik utusan Injil maupun orang Kristen Birma. Akhirnya pada tahun 1840, ia merasa puas. Terjemahan Alkitab hasil karyanya yang diterbitkan pada tahun itu hingga kini masih tetap dibaca di gereja-gereja di negeri Myanmar.

Selama bertahun-tahun, Adoniram Judson berjuang mati-matian demi tugas penginjilan dan penerjemahannya itu, suatu gerakan Kristen besar mulai tampak di negeri Birma. Bahkan pada masa hidup Judson, sudah ada ribuan orang Birma yang percaya kepada Tuhan Yesus. Dan sekarang, lebih dari satu setengah abad kemudian, ada ratusan ribu orang Kristen di negeri Myanmar.

Siapa tahu, mungkin semuanya itu tidak akan terjadi ... seandainya tidak ada seorang ibu Amerika yang pandai menjahit serta seorang bapak bangsa Birma yang setia menyimpan bantal yang berisi buku, sampai saat ia menyerahkan kembali kepada pemiliknya!

Diringkas dari:
Judul buku : Alkitab di Seluruh Dunia: 12 Kisah Nyata Jilid 3
Judul asli buku : Stories of the Book of Books
Penulis : Grace W. McGavran
Penyadur : H.L. Cermat
Penerbit : Lembaga Literatur Baptis, Bandung 1991
Halaman : 22

Untuk membaca keseluruhan kisah ini secara tersambung, silakan buka di:

==> http://misi.sabda.org/

Baca_selengkapnya......

Renungan - Cara Pandang terhadap Beban Hidup

Bukan berat Beban yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut.
Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?"

Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr."Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya." kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya.Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."

"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey. "Apa yang
harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi". Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.

Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada dipundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi.

Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya...!! Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh
di relung hati kita.

Start the day with smile and have a good day........

Written by Isak Rickyanto
Wednesday, 08 June 2005
www.cerita-kristen.com

Baca_selengkapnya......

Renungan - Apakah orang Kristen wajib puasa?

Kata puasa sebenarnya diserap dari dua kata bhs Sangsekerta yaitu: “upa” dan “wasa”. Upa adalah semacam prefiks yg artinya dekat, sedangkan “wasa” berarti Yang Maha Kuasa. Jadi upawasa, atau yg biasa dilafalkan puasa, merupakan suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sedangkan dlm bhs Arabnya shaum atau shiam. Menurut bahasa Indonesia, puasa artinya "menahan diri". Menahan diri untuk tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami istri selama waktu tertentu.

Puasa dilakukan oleh berbagai macam bangsa maupun agama di dunia ini mulai dari bangsa Mesir, Tionghoa, Tibet, Yunani, bangsa Arab maupun bangsa Yahudi juga mengenal puasa. Umpamanya orang Jawa mengenal ber-macam2 cara berpuasa (Tapa) antara lain lewat “Tapa Mutih” (hanya makan nasi tanpa garam tujuh hari berturut-turut), “Tapa Ngrowot” (hanya makan sayur tujuh hari tujuh malam), dan “Tapa Pati Geni” (pantang makan makanan yg dimasak dengan api sehari semalam). Hanya motivasi, bentuk, macam, dan caranya masing-masing agama tentu berbeda, terutama dengan cara puasa umat Islam. Dan pada umumnya menjelang bulan Puasa ini selalu timbul pertanyaan; apakah bagi orang Kristen juga ada kewajiban puasa seperti para penganut agama lainnya? Bagaimana puasanya orang Kristen dan berapa lama?

Bagi umat Katolik, biasanya puasa atau pantangan (yaitu tidak melakukan atau makan dan minum sesuatu yang disukainya) dimulai dari Hari Rabu Abu, yg berlangsung selama 40 hari. Puasa itu juga dikenal dan dilakukan di hampir semua gereja di Mesir dimana mereka melakukan puasa penuh selama 40 hari yg lebih dikenal dgn Shaum al-Kabir (Puasa Besar).

Bagaimana menurut Alkitab? Puasa dlm bhs Ibrani tsum, tsom dan “inna nafsyo” yg berarti merendahkan diri dgn berpuasa, sedangkan dlm bhs Yunani = nesteuo, nestis atau asitia/asitos. Yg sdh pasti mulai dari Musa (Kel 34:28), Elia (1 Raj 19:8) maupun Tuhan Yesus (Mat 4:2) mereka melakukan puasa selama 40 hari. Berpuasa dlm Alkitab pada umumnya berarti tdk makan dan tdk minum selama waktu tertentu, jadi bukannya hanya menjauhkan diri dari beberapa makanan tertentu saja lih. (Est 4:16).

Dalam Alkitab, hanya ada satu praktik puasa yang ditentukan, yaitu pada saat hari Pendamaian (hari pengampunan dosa – Im 16; 23; Kis 27:9). Saat itu, seluruh bangsa Israel merayakan hari itu dgn berpuasa dan beristirahat. Disamping itu orang2 Farisi fundamentalis melakukannya juga setiap hari Senin & Kamis (Luk 18:12).

Puasa dapat disebut doa dgn tubuh, karena menyangkut seluruh orang dan tingkah laku rohaninya. Puasa dapat memberikan kemantapan dan intensitas pada doa, karena dapat mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya dan dapat bermakna mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dan dengan Puasa menolong orang untuk menghindari keserakahan dan bisa merupakan tanda penyesalan, pertobatan.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari puasa. Sekurang-kurangnya, kita diingatkan kembali oleh Allah arti penting hidup bersama dgn manusia lainnya. Dgn kata lain, makhluk sosial ini tidak akan bisa hidup tanpa ada hubungan baik dengan sesamanya. Ketika puasa, kita dapat merasakan pahit getir menahan lapar dan dahaga. Padahal penderitaan ini hanya sesaat, yaitu sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Buat fakir miskin kesengsaraan ini dijalani sepanjang hayatnya. Melalui cara ini, mata batin kita akan peka, naluri ingin menolong akan semakin sensitif dan kepedulian kita kepada semua manusia akan semakin baik.

Dapat dikatakan bahwa puasa merupakan suatu ibadah guna menguasai nafsu kedagingan. Mengapa dikatakan ibadah? Karena di dalamnya terkandung relasi yg intim antara orang yang berpuasa dengan Allah, maka pelaksanaannya tidaklah dapat dipaksakan.

Menurut mang Ucup, puasa harus disertai dengan ketulusan hati; sebagai bagian dari ibadah kita kepada Tuhan. Puasa adalah panggilan, bukan kewajiban. Karena itu puasa harus dilakukan dengan sukacita bukan karena terpaksa.

Namun permasalahannya adalah, jika puasa itu adalah ibadah apakah puasa perlu dilegalkan atau diwajibkan dalam hukum agama? Jika demikian kenyataannya, berarti relasi manusia dengan Allah adalah sesuatu yang dapat (bahkan harus) dipaksakan.

Perlu disadari bahwa penebusan Yesus di atas kayu salib telah menggenapi Hukum Taurat (PL) yang bergantung pada usaha manusia menyelamatkan diri sendiri dengan melakukan hukum agama secara ketat (sunat, korban, sabat, puasa, halal-haram dll), menjadi kasih karunia Allah yang diberikan kepada setiap orang yang percaya dan bertobat (Yoh. 3:16; Ef. 2:8-10).

Maranatha
Mang Ucup – The Drunken Priest
Email: mang.ucup@gmail.com
Homepage: www.mangucup.org

Baca_selengkapnya......

12 September 2009

Foto-foto Anak Sekolah Minggu

Suasana Sekolah Minggu



Mengunjungi Panti Asuhan dalam Kegiatan Paskah










Baca_selengkapnya......

10 September 2009

Renungan - PENERIMAAN

Mirna dan Jack hidup dalam obat bius, pesta-pora, dan kumpul kebo. Mirna mengira orangtua Jack pasti sangat membencinya. Ia keliru. Pada malam Natal, mereka berdua diundang makan bersama keluarga Jack. Mirna memakai kostum ala penyanyi rock dengan tato di tangan, tetapi orangtua Jack tetap bersikap ramah. Ibu Jack sering menelepon sesudah itu. Memberinya nasihat rohani.

Mulanya Mirna mencibir. Suatu hari kecanduannya makin parah. Mirna merasa sangat ketakutan, lalu menelepon si ibu. Orangtua Jack datang bersama pendeta, mendoakan dan memeluknya. Ia terharu sekali karena merasa diterima. Sejak itu Mirna dan Jack menerima Kristus.

Dalam pergaulan sehari-hari, kerap kita jumpai orang yang imannya lemah. Ada yang masih percaya takhayul, gaya hidupnya duniawi, atau terikat dosa tertentu. Banyak pula yang belum beriman, bahkan mencela Kristus. Bagaimana sikap kita? Menghakimi dan menjauhi mereka? Rasul Paulus menantang kita untuk menerima mereka apa adanya (ayat 7), sebagaimana Kristus telah menerima kita. Menerima bukan berarti menyetujui perbuatan dosanya, melainkan "menanggung kelemahannya" (ayat 15). Artinya, berusaha menanggung rasa tidak nyaman ketika menghadapi kelemahannya, sambil berdoa dan berusaha membangun imannya.

Menerima orang seperti Mirna tidaklah mudah. Lebih gampang meninggalkan orang bermasalah seperti dia, lalu bergaul dengan kawan seiman yang lebih menyenangkan. Di sini dibutuhkan penyangkalan diri, kesabaran, dan kerendahan hati. Namun, percayalah: penerimaan Anda akan menyentuh hidup mereka! -JTI

SEBUAH PENERIMAAN YANG TULUS
MEMBUAT JALAN MENUJU TUHAN MENJADI MULUS


diambil dari:
e-RH versi web: http://www.glorianet.org/rh/092009/11.html
e-RH arsip web: http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/2009/09/11/

Penulis: Juswantori Ichwan - www.renunganharian.net


Roma 15:1-7

1. Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak
kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.
2 Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama
kita demi kebaikannya untuk membangunnya.
3 Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri,
tetapi seperti ada tertulis: "Kata-kata cercaan mereka, yang
mencerca Engkau, telah mengenai aku."
4 Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis
untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang
pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci.
5. Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan,
mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak
Kristus Yesus,
6 sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan
Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus.
7. Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus
juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.

Baca_selengkapnya......

04 September 2009

Kesaksian - The Passion of Jim Caviezel

Posted by Chris Lase on September 1, 2009 on 2:34pm at
facebook Group: GKPI Citeureup


Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion Of Jesus Christ”. Ini Kesaksiannya,…

JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2 YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG BERJUDUL ” THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.

Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.

“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.

Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.

Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood.

Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.

Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?”
Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”.

Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!
Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan.. Pertanyaan-pertanya an tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.

Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.

Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya. Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya.

Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting. Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.

Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya. Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan.

Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak
mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga. Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.

Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu.

Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini.

Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.

Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus.
Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm.

Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan. Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang bisa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.

Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.

Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan.

Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang. Dan sayapun tidak sadarkan diri.

Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!”.
“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ…

Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu. Melihat dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.

Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri. Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.

Saya harap mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa. Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.

“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”

Baca_selengkapnya......

01 September 2009

Renungan - Ketetapan Hati Seorang John Calvin

Pergumulan dengan Tuhan melalui keluarga dan sahabat

Yohanes Calvin adalah seorang yang visioner dan fokus, betul - betul mengasihi Tuhan dan memberikan pengabdian tuntas untuk memberikan yang terbaik. Demikian dalam memilih pasangan hidup.

Berikut adalah standar yang ditentukan Calvin untuk calon istrinya.
"The only kind of beauty which can win my soul is a woman who is chaste (bersih), not fastidious (tidak menuntut/ cerewet), economical (sederhana), patient (sabar), and who is likely to interest herself in my health ( memperhatikan kesehatanku)."

Terlihat sulit ya, apalagi di jaman sekarang. Tapi itu baru standar dari seorang Yohanes Calvin, belum standar dari Alkitab sendiri ( baca Amsal 31: 10-31), maka bisa2 semua pria tidak menikah. Tentu saja Alkitab tidak bermaksud ingin membuat setiap pria tidak menikah, ayat2 tersebut dimaksudkan agar setiap wanita sungguh-sungguh mengusahakan diri untuk menjadi perempuan yang sejati. Dan jadi standar bagi kaum wanita dalam mempertimbangkan pasangannya. Ditengah segala keterbatasan dan kelemahan tetap ada batas toleransi yang Tuhan ijinkan dimana pasangan laki - laki dan perempuan itu saling melengkapi.

Lalu bagaimana dengan Calvin? Siapakah wanita yang membuatnya jatuh cinta?

Idelette de Bure of Guelderland adalah janda dari John Storder dari Liege. Pada tahun 1530, Idelette dan suaminya mengungsi ke Strasburg karena penganiayaan atas Injil yang mereka percaya. Pada tahun 1538, Calvin memulai pelayanannya di Strasburg dan kemudian menjadi dekat dengan John Storder dan Idelette. 2 tahun kemudian, John meninggal karena wabah penyakit yang menyebar saat itu dan Idelette menjadi janda. Akhirnya, berkat jasa Martin Bucer, Idelette dapat muncul di kepala Calvin yang super sibuk dan akhirnya Calvin pun menyadari keindahan dalam diri Idelette. Dia lalu menikah dengan Idelette.

Setelah menikah, Calvin dikaruniai 3 anak, tapi sayang sekali semua anak Calvin meninggal ketika bayi. Di masa sulit itu, Calvin pun masih harus menghadapi tuduhan dari gereja Katolik,

"He married Idelette, writes one, 'by whom he had no children, though she was in the prime of life, that the name of this infamous man might not be propagated."

Dalam suratnya kepada sahabatnya, Peter Viret, Calvin mencurahkan perasaannya tentang anaknya.

"This brother, the bearer, will tell you in what anguish I now write to you. My wife has been delivered prematurely, not without extreme danger. My Lord look down upon us in mercy."

Dan kemudian anaknya meninggal, Calvin kembali menulis surat kepada sahabatnya.

"...The Lord has certainly inflicted a severe and bitter wound by the death of our infant son. But He is himself a Father and knows what is necessary for his children."

Dia tidak menyalahkan Tuhan atas penderitaannya, bahkan dengan penuh keyakinan Calvin tetap memanggil Tuhan itu Bapa. Pernikahannya dengan Idelette pun relatif singkat. 9 tahun setelah menikah, Idelette dipanggil Tuhan.

Inilah percakapannya dengan Idelette menjelang kematian sang istri tercinta.

Idelette :"I have already commended them to the Lord." ( tentang 2 anaknya dari pernikahan sebelumnya)
Calvin :"That will not prevent me from caring for them."
Idelette :"I am sure you will not neglect the children whom you know to be commended to the Lord."
Calvin :"This greatness of soul will influence me more powerfully than a hundred commendations would have done."

Sampai akhir hayatnya, Calvin tetap bekerja keras dan fokus menunaikan tugasnya dengan penuh pengharapan, dan tidak pernah menikah lagi.

sumber : diringkas dari PILLAR ( bulletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia)
www.buletinpillar.org

www.cerita-kristen.com

Baca_selengkapnya......

Renungan - Calvin dan Uang

Kalau kita ditanya, "Relakah Anda memberikan sebagian besar uang hasil kerja keras kepada pekerjaan Tuhan, dan hidup seminimal mungkin bagi diri sendiri?"

Apakah jawaban Anda? Pikir- pikir dulu? Menghitung warisan yang dapat diwariskan untuk anak cucu dulu? Atau kita bisa langsung menjawab," Ya pasti saya akan memberikan sebagian besar untuk pekerjaan Tuhan dan minimal untuk saya."

Adakah orang seperti ini di dunia ini, yang menyadari bahwa hidupnya bukan bagi dirinya lagi, tapi Kristus di dalam dia. Jawabannya ada : Yohanes Calvin.

Yohanes Calvin dilahirkan di Noyon, Prancis pada 10 Juli 1509 dan meninggal di Jenewa, Swiss 27 Mei 1564. Calvin adalah anak kedua dari lima bersaudara, dimana ketiga saudaranya meninggal ketika masih bayi, hanya dia dan adiknya yang bertahan hidup. Ibunya meninggal ketika Calvin masih kecil, dan ayahnya kawin lagi dengan seorang janda yang melahirkan dua anak perempuan. Ayahnya berambisi anak laki-lakinya harus mendapatkan pendidikan yang tinggi, sehingga pada umur 12 tahun, Calvin sudah mendapatkan posisi di altar La Gesine di katedral Noyon, dimana dia mulai menerima pemasukan uang secara reguler.

Itulah sekilas riwayat hidup Calvin. Calvin menghabiskan sisa hidupnya bersama penyakit yang dideritanya ( istrinya meninggal pada 29 Mei 1549) dan dia tidak pernah menikah lagi. Dari catatan-catatan kecil tentang kehidupannya, kita bisa mengetahui bagaimana Calvin menggunakan uangnya. Di Jenewa, Calvin mendapat kehormatan dari pemerintah, diberikan sebuah rumah tinggal, dan mendapatkan gaji sebesar 500 florins, gandum, dan juga 2 gentong anggur. Namun pada akhir hidupnya, Calvin hanya menyisakan 170 dollar ketika dia meninggal. Uangnya dipakai untuk melayani orang lain.

Inilah Calvin yang sebenarnya mempunyai kesempatan hidup nyaman dan enak, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Kenyamanan baginya adalah menjalankan kehendak Bapa di surga. Seperti Yesus ketika hidup di dunia, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." ( Yoh 4:34).

Atau bisa juga kita melihat kesaksian hidup pak Pendeta Stephen Tong. Sehari - harinya, baik di Indonesia maupun ketika keliling dunia untuk pelayanan, beliau memakai uang seminimal mungkin untuk dirinya sendiri dengan makan makanan murah, tinggal di hotel sederhana, termasuk mencuci pakaiannya sendiri. Hal ini dilakukan bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk berhemat dan membeli barang kebutuhan gereja seperti alat musik atau benda keperluan lainnya untuk pelayanan. Uangnya dipakai untuk memperluas kerajaan Tuhan di muka bumi ini.

Bagaimana dengan kehidupan kita hari ini? Bagaimanakah kita memperlakukan uang yang dipercayakan oleh Tuhn? Apakah kita masih menganggap uang itu adalah milik kita sambil mengatakan bahwa segala sesuatu dalam hidup kita adalah milik Tuhan? Apalagi jika kita anggap uang itu adalah hasil kerja keras kita. Kita anggap kita boleh memakai uang itu untuk apapun yang kita mau.

" Toh saya tidak mencuri uang itu, saya tidak pakai uang itu untuk narkoba, berjudi, dan hal buruk lainnya. Saya pakai itu untuk beli baju baru, apa salahnya? Saya pakai untuk makan di restoran mewah, mengganti hp saya dengan hp terbaru, apa salahnya ? Toh hp itu juga dipakai untuk berkomunikasi dalam pelayanan ". Bukankah semua yang kita lakukan itu beserta alasannya tampaknya baik - baik saja dan masuk akal? Kita lupa kalau semua yang dipercayakan Tuhan kepada kita bukan milik kita tetapi milik Tuhan dan Tuhan mau kita memakai semua itu untuk kemuliaan dan kebesaran nama-Nya.

Ironis ketika berkat itu datang kepada kita, kita lalu melupakan Sang Pemberi berkat. Kita hampir tidak pernah menggumulkan dan menanyakan, " Sudahkah uang ini saya pakai sesuai perkenanan Tuhan?" Sadarkah kita bahwa sekalipun kesannya itu "halal" tetapi jika pemakaian uang itu tidak sesuai dengan perkenanan-Nya maka itu adalah dosa. Seperti kata pak Stephen Tong,"Jikalau uang sudah menjadi tuhanmu, bagaimanapun engkau berbakti, itu semuanya palsu di hadapan Allah."

Lalu bagaimanakah seharusnya kita mempergunakan uang yang ada dalam genggaman kita ini? Bertanyalah pada Tuhan! Ikutilah teladan orang yang mendasari hidup mereka dengan firman Tuhan.

Sampai akhir hidupnya, di dalam penyakit yang dideritanya, Calvin tetap kerja keras untuk Tuhan tanpa istirahat ( hanya tidur 1-2 jam sehari), sehingga membuat teman - temannya khawatir. Namun ia menjawab, "Apa! Apakah engkau mau Tuhan melihat saya sedang bermalas-malasan ketika Dia datang?". Bahkan ketika mati pun ia tidak ingin dikenang. Ia dikuburkan di Cimetiere des Rois, tempatnya tepat dimana, tidak ada yang tahu. Untuk mengenangnya dibuat sebuah nisan dengan inisial J.C, tanpa saksi maupun upacara.

Bagaimana dengan kita?

Marilah kita tunjukkan dalam hidup kita bahwa uang bukan yang terpenting, dan segala sesuatu yang ada pada kita sesungguhnya bukan milik kita. Mengutip Paulus, marilah ketika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, ketika kita mati, kita mati untuk Tuhan. ( Roma 14:7-9).

sumber: PILLAR, buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia.

www.cerita-kristen.com

Baca_selengkapnya......